WAWANCARA ATAU INTEROGASI?
WAWANCARA ATAU INTEROGASI?
“Saya ini Menteri... saya tidak terima diperlakukan seperti ini...” tegas seorang Menteri yang menangani persoalan buruh di kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri itu sambil berdiri dan pergi meninggalkan studio televisi tempat sang menteri diwawancara.
Kejadian yang berlangsung sekitar tahun 2004 ini masih membekas dibenak saya ketika menyaksikan seorang Menteri harus meninggalkan studio dengan marah-marah karena tidak menerima cara pewawancara mengajukan pertanyaan kepadanya. Sontak sang menteri langsung berdiri dan berlalu meninggalkan studio, padahal wawancara itu disiarkan secara live oleh sebuah stasiun televisi swasta nasional terkemuka di tanah air. Apa yang membuat sang Menteri begitu murka dan tidak terima dengan sikap si pewawancara? Apakah karena pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan pribadi yang membuatnya tersinggung? Atau ia tidak suka dengan jenis pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara cantik itu? Begitu keras atau kasarkah pertanyaan yang disampaikan pewawancara sehingga mampu membucahkan amarah narasumber?
Program talkshow di televisi itu langsung berhenti ketika menteri yang menjadi narasumber meninggalkan studio. Usut punya usut, sang Menteri tersinggung dengan gaya dan pembawaan si pewawancara yang bertanya dengan menyerang dan memojokkan. Pertanyaan yang disampaikan tersebut lebih kepada “pernyataan” yang menyerang kredibilitasnya sehingga ia merasa dipojokkan dalam talkshow televisi yang disiarkan langsung itu. Pewawancara lupa akan tugasnya sebagai orang yang memandu program dengan tujuan menggali informasi sebanyak mungkin dari narasumber.
Kehadiran seorang narasumber dalam progam talkshow adalah sebagai sumber informasi yang memang sengaja diundang untuk dimintai keterangan seputar isu, topik atau masalah yang dibahas. Narasumber bisa berasal dari kalangan pakar, pejabat , pihak yang bertanggung jawab atas suatu hal sampai pada “people on the street” atau orang kebanyakan. Setiap narasumber memiliki kapasitas masing-masing, sehingga kehadirannya penting untuk menjelaskan suatu hal atau memberikan informasi dan wawasan bagi penonton televisi.
Ketika seorang narasumber hadir di studio, sebenarnya ia telah menyatakan persetujuannya untuk diwawancarai. Oleh sebab itu narasumber berhak tahu topik bahasan yang akan diangkat dalam serta ruang lingkup wawancara agar narasumber juga dapat mempersiapkan diri dengan baik. Bila diangap perlu, narasumber dapat saja menyiapkan materi pelengkap berupa data, foto atau bahan lain yang dapat mendukung pernyataannya nanti.
Kasus menteri yang marah dan meninggalkan studio saat program talkshow berlangsung sebenarnya dapat diantisipasi dengan pembawaan yang baik dari si pewawancara. Kerap kita saksikan seorang pewawancara televisi menyerang narasumber sambil tidak berhenti bicara dan memotong seenaknya tanpa memberikan kesempatan narasumber menyelesaikan jawabannya. Kadang kita lihat pula seorang pewawancara membuat pernyataan yang cukup panjang dengan dilengkapi data atau bukti bukti yang mereka anggap otentik sebagai dasar untuk menyerang narasumber, namun tidak juga memberikan kesempatan yang seimbang pada narasumber untuk menjawab pertanyaannya.
Pertanyaan yang diajukan bisa jadi biasa-biasa saja, namun karena cara menyampaikannya tidak baik sehingga membuat pertanyaan tersebut berkesan menuding,memojokkan atau bahkan menghakimi narasumber. Intonasi dan gesture adalah hal yang sangat memengaruhi respon narasumber. Ketika seorang pewawancara melemparkan pertanyaan dengan nada tinggi dan alis terangkat sambil mengarahkan jari telunjuk ke narasumber, sebenarnya ia telah melempar genderang perang . Bukan jawaban atau informasi lengkap yang didapat dalam acara itu namun jawaban singkat dan sikap defensif yang diterima. Bagaimanapun juga seorang narasumber akan merasa tidak nyaman ketika mendapatkan serangan bertubi-tubi saat wawancara berlangsung sehingga ia akan memilih posisi bertahan dari serangan atau malah melakukan serangan balik kepada pewawancara. Program Talkshow seperti ini banyak kita saksikan di layar televisi kita. Dari sisi sensasi nya dapat, tapi informasi dan edukasinya tidak dapat. Program seperti ini sebenarnya bukan tidak disengaja oleh stasiun televisi, mereka malah mengkondisikan program talkshow sebagai ajang adu domba dan perdebatan yang tak ada ujungnya dengan mengundang narasumber yang dianggap memiliki potensi “berantem” cukup tinggi. Pewawancara kadang tidak dibekali dengan asupan data yang lengkap, sehingga dengan mengandalkan “feeding” atau bisikan dari Produser lewat earpiece, si pewawancara sudah cukup pede untuk menyerang narasumber. Alhasil, rating program talkshow akan meroket, namun informasi yang diharapkan dapat menambah wawasan penonton tidak diperoleh.
Rekan saya seorang pewawancara di tv tetangga pernah mengeluh bahwa ia kesulitan dan harus berjuang keras menaklukkan seseorang yang dianggap narasumber sulit. Ia bahkan bercerita telah melontarkan seribu jurus pertanyaan tajam dan menonjok, namun narasumber tersebut tidak juga terpengaruh dan terpancing emosinya untuk merespon. Diakhir acara, selain pewawancara yang kelelahan dan narasumber yang tidak “dimanfaatkan” secara optimal, program itu selesai dengan antiklimaks. Apa yang didapat? NOL
Anda tidak perlu berjuang keras menaklukkan narasumber, sebab narasumber bukanlah lawan dalam peperangan. Narasumber hadir untuk dimintai keterangannya, karena itu perlakukanlah dengan baik dan sopan. Kunci sukses sebuah wawancara televisi terletak pada riset dan persiapan yang dilakukan. Setiap pertanyaan yang dilontarkan adalah berdasarkan data yang jelas dan akurat, bukan berdasarkan ”katanya” atau menurut kabar angin.
Seorang pewawancara juga harus memiliki modal data yang kuat serta mengenali biografi narasumber. Saya sering berselancar di internet untuk mencari tahu wajah atau profil seorang narasumber bila saya belum mengenalnya. Dari foto dan profilnya, kita dapat membaca karakter dan pemikiran sang narasumber.
Sebelum memulai wawancara, ada baiknya “ngobrol” dengan narasumber. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa percaya dari narasumber. Ketika narasumber merasa “secure” dan percaya pada anda, ia akan merasa aman dan senang untuk ditanyai apa saja. Namun sebaliknya ketika narasumber tidak percaya pada anda, maka anda akan sulit untuk memaksanya buka mulut. Saya jarang menemukan narasumber sulit, bahkan banyak narasumber saya yang ketika ditanya satu hal, ia langsung bercerita banyak hal dengan sendirinya. Kuncinya adalah data yang kuat dan “pemanasan” sebelum acara yaitu dengan bincang-bincang santai diluar studio. Saya bahkan hafal dengan beberapa kebiasaan narasumber seperti ada yang suka minum teh atau kopi sehingga ketika petugas OB menanyakan minuman apa yang diinginkan sang narasumber, saya langsung menjawab atas namanya dengan menyebutkan jenis minuman kesukaannya. Sesekali saya juga bertanya tentang kabar anak dan istri serta perkembangan usaha yang dijalaninya. Beberapa narasumber malah saya kenali nama kecil atau nama panggilan akrabnya. Hal-hal seperti inilah yangmembuat narasumber merasa nyaman dengan pewawancara, sehingga tanpa perlu menguras energi dan berkeringatpun, narasumber akan membuka semua informasi yang diperlukan ketika wawancara berlangsung. Saya kira hal ini tidak memerlukan pendidikan atau keahlian khusus, yang dibutuhkan adalah sikap “humble” dan luangkan waktu untuk melengkapi data serta melakukan pendekatan dengan narasumber sebelum acara berlangsung. Ingat, kunci sukses dari sebuah program wawancara adalah Persiapan, persiapan dan persiapan.
Seorang menteri pernah “curhat” berjam-jam dihadapan saya setelah selesai talkshow. Ia bahkan bercerita soal trauma masa kecilnya yang membuatnya menjadi sosok yang “garang” di media selama ini. Tanpa saya paksa, sambil meneteskan air mata ia bertutur betapa ia tidak pernah melupakan masa lalunya. Saat itu saya tahu diri, untuk menempatkan diri sebagai teman, bukan sebagai seorang pewawancara televisi. Saya tidak akan mengorek lukanya lebih dalam hanya untuk memegang kartu “truf” ketika suatu saat dibutuhkan , dan saya juga tidak pernah menceritakan pada siapapun tentang isi “curhat” darinya. Ketika tahun baru, saya mendapat sms ucapan selamat tahun baru dari seorang menteri yang juga mantan narasumber saya ketika itu. Senang dan terharu ketika orang yang pernah menjadi narasumber mengucapkan selamat tahun baru secara pribadi sebab saya tahu kebanyakan telepon genggam pejabat tinggi kita dipegang oleh ajudan atau sekretarisnya.
Anda tentu masih ingat beberapa waktu lalu ketika Bang Jokowi , Gubernur DKI Jakarta marah kepada seorang pewawancara stasiun televisi berita di tanah air. Mantan walikota Solo itu menyatakan kekesalannya karena merasa dijebak oleh stasiun televisi karena tema yang ia terima berbeda dengan tema yang dibawakan saat wawancara live berlangsung. Gubernur Jokowi yang biasanya akrab dan ramah pada para wartawan, saat itu juga terlihat kesal dan tersinggung dengan sikap sang pewawancara karena lebih banyak menuding dan memotong jawaban Gubernur. Untunglah kekecewaan Jokowi tidak diungkapkan secara spontan saat program berlangsung tapi disampaikan ketika wawancara selesai. Walaupun saya tidak sempat melihat siaran langsungnya namun rekaman wawancara itu masih bisa dilihat di situs berbagi video youtube karena sempat menjadi trending topic dikalangan media.
Anda harus ingat bahwa narasumber bukanlah tersangka atau terpidana yang akan dihakimi dan interogasi didepan kamera televisi, sehingga penting sekali untuk menyampaikan pertanyaan dengan baik dan santun. Lalu apakah talkshow itu menarik untuk ditonton? Tergantung anda ingin cari acara yang sensasional atau yang informatif. Mari memilih dengan cerdas...
• Donny de Keizer , adalah Ketua Umum AMCINDO (Asosiasi Master of Ceremony Indonesia) yang juga seorang TV Broadcaster. Mengawali karir di TVRI sebagai Jurnalis dan Producer . Saat ini aktif sebagai Newscaster di Beritasatu TV – Firstmedia Channel dan menjadi Dosen komunikasi di UNTAR, Binus dan Talk Inc. Selain itu Donny juga menjadi CEO Virtual Komunika sebuah usaha yang bergerak dibidang konsultan komunikasi dan training di Jakarta. Saat ini Donny dipercaya sebagai Master Penguji MC tingkat Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan dikenal juga sebagai bintang iklan televisi dan Public Speaker. Sejak tahun 2012 Donny menjadi Pemimpin Redaksi Excellent TV – Vivasky Channel, sebuah televisi berbayar baru di Indonesia.