Suatu hari, Master Zen Chuang Tzu dan seorang temannya berjalan di tepi sebuah sungai. Dalam keriangan gemercik air sang master berkata, “Lihat ikan-ikan itu, alangkah cerianya berenang ke sana kemari. Ikan-ikan itu sedang bersenang-senang dengan berenang ke sana kemari di sungai itu.” “Kamu bukanlah ikan,” jawab temannya. “Jadi, kamu tidak bisa tahu sebenarnya mereka sedang bersenang-senang atau tidak.” Setelah merenung sejenak, Master Chuang Tzu pun berkata, “Kamu bukanlah saya. Jadi, bagaimana kamu tahu bahwa saya tidak tahu bahwa ikan-ikan itu sedang bersenang-senang menikmati hari mereka?”
Ruang kehidupan manusia kerap dihiasi dengan dekorasi destruktif nan negatif hanya karena perbedaan pandangan dan pilihan. Betapa banyak korban berjatuhan hanya karena memaksakan opini ambisius fanatik dan sempit untuk dapat diterima secara generik oleh setiap orang. Pergesekan demi pergesekan. Pertikaian demi pertikaian akhirnya merusak sendi-sendi kehidupan yang seharusnya menjadi simpul kebersamaan untuk disokong secara kolektif agar tidak runtuh menimpa manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Fakta empiris bahwa bumi ini selalu diisi dengan dualitas –siang-malam, matahari-bulan, panas-dingin, tua-muda - yang tidak mungkin bisa disatukan karena fungsinya yang berbeda-beda ternyata tidak sanggup memperlebar ruang toleransi buat sebagian orang. Dari sinilah prahara konflik kemanusiaan itu bermula.
Manusia terkadang lupa bahwa diri sendirilah sesungguhnya yang membuat kehidupan menjadi sedemikian memprihatinkan. Ada banyak kisah sedih di hari Minggu di lembaran kehidupan manusia jenis ini. Luka hati dan rasa kecewa membingkai setiap langkah kehidupan mereka. Jika, perenungan bisa diberi ruang untuk menyendiri dan menyepi, tentu kisah sedih di hari libur itu akan berubah menjadi beautiful Sunday. Mengapa bukan ini yang dijadikan tujuan hidup itu sendiri? Mengapa manusia rela menguras energi potensial positif yang dimiliki hanya demi kemenangan ego sesaat. Pertarungan ego tidak akan pernah mendatangkan kepuasan permanen selain kesenangan temporer. Perkelahian ego hanya akan membuat manusia sakit secara mental dan fisik yang secara gradual akan merusak sistem syaraf dan imunitas lahiriah secara luar biasa. Mengapa tidak segera berhenti mengurusi ego untuk menyejukkan lahir dan batin guna memperpanjang kehidupan yang memang sangat berharga ini untuk memperbaiki diri ? Karenanya, alangkah baiknya, jika kisah di atas menjadi bahan renungan dan inspirasi untuk dikristalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika ruang hati telah terisi dengan nilai apresiasi terhadap opini insani, rasanya tidak akan ada lagi luka hati yang mungkin dibawa sampai mati. Hidup saja sudah tidak mudah untuk dijalani. Lalu, mengapa jalan setapak kehidupan yang penuh dengan onak dan duri ini masih rela diberi ruang energi yang negatif dan destruktif? Sampai kapan, kita akan sampai pada tingkat hakiki yang meruntuhkan semua siklus kehidupan manusia jika energi perusak itu terus bertahan dalam ruang kognisi dan afeksi? Itulah renungan yang sejatinya harus diproses dalam pikiran sadar, tenang dan damai agar solusi komprehensif dan integratif akan dapat diraih. Lepaskan ego yang hanya memberikan kesenangan sesaat. Ajaklah ego untuk berkarya memperlebar jalan kehidupan yang penuh dengan taman bunga di kiri-kanannya dan udara yang sejuk pendorong langkah sehingga tujuan akhir kehidupan ini pun akan dapat direalisasikan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Mari kita songsong pencerahan kehidupan yang sudah semakin dekat ini dengan membebaskan diri dari segala bentuk pemaksaan pandangan dan pilihan kepada orang lain. Karena, setiap orang pasti berbeda adanya.