a a a a a a a
Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Komunikasi

Gaya Komunikasi Tentukan Nilai Diri by DR. Ponijan Liaw, M.Pd

Gaya Komunikasi Tentukan Nilai Diri by DR. Ponijan Liaw, M.Pd

by Bill Clinton
Pada tahun pertama setelah tidak menjadi Presiden ke-42 AS, Bill Clinton mendapatkan bayaran lebih kurang Rp. 750 juta - Rp. 3,5 milyar untuk sekali bicara di seminar di berbagai belahan dunia. Nominal itu melebihi yang diterimanya ketika menjadi Presiden AS (sekitar Rp. 350-an juta). Honor sebagai pembicara itu bahkan melebihi gaji petinggi negara termahal di dunia, Perdana Menteri Singapura yang bernilai Rp. 2,7 milyar per bulan! Tentu ini menjadi fenomena yang sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji mengingat nilai nominal yang didapatkannya 1000% lebih tinggi dari posisi sebelumnya sebagai kepala negara sebuah negara adidaya. Mungkin belum ada satu pun mantan presiden di dunia yang mendapatkan kesempatan memperoleh kocek sebesar itu, termasuk pembicara kelas dunia sekali pun. Pasti ada alasan yang bisa dijadikan sebagai landasan penelusuran fenomena tersebut.
Bill Clinton memang istimewa dan fenomenal. Ia-lah presiden flamboyan Amerika yang dikenang luas dengan rasa simpatik yang cukup tinggi di antara presiden-presiden lainnya oleh warga dunia, khususnya tamu-tamunya, termasuk para audiens-nya di berbagai seminar dan lokakarya. Mengapa ia memiliki daya sihir yang sedemikian luar biasa tentu menjadi pertanyaan dan rasa iri para petinggi negara lainnya. Dari perspektif komunikasi, ada beberapa alasan mengapa ia mampu bertengger pada posisi fenomenal tersebut.
Pertama, ia adalah seorang focus practitioner. Ia selalu memberikan perhatian yang sangat penuh dan fokus kepada setiap tamunya di antara hiruk-pikuk orang yang lalu-lalang sekali pun di sekitarnya. Ia tidak pernah menggeser perhatiannya terhadap hal-hal lain di saat ia tengah mengadakan perbincangan dengan orang yang diajak bicara. Hal ini ditestimonikan oleh para tamu-tamunya yang terangkum dalam berbagai buku popular yang ada. Sehingga setiap tamu merasa ia-lah satu-satunya orang terpenting di dunia ini karena perlakukan sang presiden. Ini karakter pertama yang mendominasi gaya komunikasi simpatik dan empatik sang pemimpin negara besar itu.
Kedua, ia adalah seorang attentive and selective listener. Ia selalu mendengar dengan penuh perhatian walau ada gangguan suara lain di sekelilingnya. Setiap kali, ketika lawan bicaranya menyampaikan sesuatu kepadanya, ia selalu memberikan kedua kupingnya dengan tulus untuk dijejali dengan informasi, pengetahuan dan apa pun sesuai dengan apa yang hendak disampaikan sang pembicara. Bukankah tindakan ini memberikan kebanggaan tersendiri kepada penuturnya? Dan, bukankah pula tindakan ini memperpanjang deretan orang-orang yang simpatik kepadanya?
Ketiga, Bill Clinton adalah seorang psychological communicator. Ia selalu mempraktekkan psikologi komunikasi yang luar biasa. Ia sangat cerdas dan tanggap terhadap penderitaan, kisah sedih dan problema lawan bicaranya. Hal inilah yang dalam ranah emotional intelligence disebut sebagai turut berempati terhadap penderitaan orang lain. Ia tidak segan-segan memberikan solusi atas masalah yang diceritakan kepadanya. Bukan hanya berhenti pada wacana, tapi ia juga akan bertindak langsung secara nyata. Di bawah kepemimpinannya, hampir 6 juta pekerjaan baru diciptakan pada tahun-tahun pertama. Inilah praktik langsung di lapangan karena empati mendengar keluhan warganya melalui perwakilan mereka di istana.
Ketiga elemen komunikasi itu, perhatian yang fokus, mendengar dengan penuh perhatian dan psikologi-simpatik-empatik telah mengokohkan dirinya menjadi seorang tokoh yang memiliki nilai (values) yang layak untuk ‘dibeli’ dengan mahal. Proses kristalisasi yang panjang itulah yang sesungguhnya menjadikan dirinya tokoh paling dicari untuk didengar wejangan dan mutiara kehidupannya. Seandainya setiap pelaku bisnis mempelajari dan mengadopsi apa yang dilakukan oleh sang mantan presiden itu, tentu praktik bisnis sekarang tidak berjalan seolah di rimba belantara tanpa aturan.
Penyebaran sms-blast yang ditebar secara membabi-buta setiap hari telah mengundang emosi-negatif-destruktif penerimanya terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Etika berkomunikasi seperti ini pun langsung mencederai dan menggerogoti citra korporasi secara perlahan. Antipati pun mulai muncul terhadap jenis usaha yang kerap melakukan praktik itu. Disini, praktik fokus tidak ada. Rasa simpatik dan empatik juga tidak dipraktikkan. Apalagi mendengarkan keberatan penerima sms macam itu. Jika disadari dengan baik demi kepentingan jangka panjang, apa tidak sebaiknya perilaku untuk meraup calon konsumen secara instan tanpa etika atau estetika itu dihentikan dan diganti dengan praktik yang sudah teruji oleh Bill Clinton. Manajemen pengenalan produk bisa menggunakan langkah-langkah yang sudah dipraktikkan berhasil oleh sang presiden.
Undang calon konsumen melalui media dengan simpatik dan jujur, bukan mengiming-imingi dengan berbagai hadiah yang nyatanya tidak ada. Hal ini bukan hanya akan berhasil mengumpulkan mereka yang betul-betul tertarik pada produk korporasi (focused-market), tetapi juga mengenalkan korporasi beserta varian produk barunya kepada publik. Dengan cara ini citra korporasi akan bisa ditata kembali. Memang, hal ini mungkin memerlukan biaya dan waktu yang relatif lebih panjang, namun hasil yang diperoleh juga biasanya akan berjalan sepadan dan berdurasi lebih lama dalam konteks citra korporasi. Undangan yang telah ditebar itu jauh lebih menuai rasa simpati dari pembacanya daripada jor-joran sms yang begitu dilirik, langsung di-delete dari layar ponsel. Kerugian citra dan modal menjadi taruhan yang sangat berbahaya untuk jangka panjang. Corporate values (nilai korporasi) menjadi porak-poranda.
Tiada kebanggaan buat publik untuk memakai produk yang tidak bernilai karena praktik etika komunikasi yang sangat bar-bar itu. Bagaimana mungkin produk semacam itu akan bertahan dalam situasi praktik seperti itu? Bagaimana pula cara korporasi itu menjual dirinya dengan mahal seperti Clinton pada market yang memang membutuhkannya? Membangun kembali citra korporasi yang telah rusak tak terkendali tentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan menata kembali perusahaan dengan nilai-nilai baru demi kepentingan orang banyak. Kuncinya sekarang ada di tangan masing-masing pemegang kebijakan, meneruskan panjangnya barisan sakit hati penerima sms-blast yang tiada henti, atau segera beralih ke perilaku komunikasi yang beretika dan berestetika. Silahkan memilih gaya komunikasi dan nilai diri sendiri.