a a a a a a a
Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Komunikasi

Komunikasi Bandara Mengudara

Komunikasi Bandara Mengudara

by Forbestraveler.com
Ulasan situs Forbestraveler.com menempatkan Bandara Soekarno Hatta (86,7%) sebagai bandara nomor dua paling tepat waktu di dunia akhir tahun 2009, satu level di bawah Haneda Airport, Tokyo, Jepang (94% – urutan ke-1). Yang lebih membanggakan lagi, ia berhasil

Komunikasi Bandara Mengudara

mengalahkan bandara Kuala Lumpur International Airport, Malaysia (83,8% - urutan ke-6) dan bandara George Bush Intercontinental Airport, Houston, Texas AS (82,3% - urutan ke-10!). Walau pun banyak yang meragukan hal ini, utamanya yang sering terkena delay pesawat disini, namun itulah data dan fakta yang telah dilansir oleh situs ternama itu. Apalagi, data yang diolah bersifat kuantitatif tentu fakta itu sulit dibantah. Karena semuanya terukur. Dari sisi itu mungkin tidak keliru. Namun, jika ditilik dari sisi kualitatifnya hasilnya bisa berbeda.



Lihat bagaimana komunikasi pelayanan yang diberikan oleh bandara Soetta mulai dari gerbang, ruang check-in sampai dengan ruang tunggu. Di pintu gerbang saja sudah terlihat tumpukan calon penumpang yang boleh dikatakan tidak teratur dan terkesan semrawut seperti di terminal nonpesawat yang selama ini kita lihat saat hari-hari raya nasional. Selain menumpuk di satu titik, ada pula calon penumpang yang salah terminal karena minimnya informasi, baik melalui papan petunjuk mau pun layar komputer. Kalau pun ada, terkadang tidak jelas menampilkan apa karena tidak pernah di-update. Hal ini diperparah lagi oleh gaya komunikasi petugas di pintu gerbang yang terlihat tidak terampil melayani calon penumpang yang membludak di depannya. Entah karena kecapean atau untuk menutupi kelemahannya yang tidak mampu menangani sebegitu banyaknya manusia di depannya, bahasa verbal dan nonverbal yang ditampilkan sungguh tidak mencerminkan profesionalisme atau etika pelayanan prima sebagai petugas bandara yang selalu didengung-dengungkan oleh pembuat kebijakan bandara. Bahasa dengan nada tinggi, pilihan kata yang kasar, ekspresi wajah yang ketus dan gerakan tangan pun tidak menunjukkan kelas bandara sebagai airport internasional. Terlihat secara telanjang betapa mereka kurang mendapatkan sentuhan dan pemahaman konseptual dan operasional soal pelayanan ini.



Derita calon penumpang yang telah membayar tiket lengkap dengan jasa pelayanannya itu belum selesai sampai disana. Di ruang check-in, perjuangan lain telah menanti. Kaunter mana yang melayani kemana menjadi persoalan selanjutnya. Papan dan monitor petunjuk sangat minim ditemukan. Walhasil, seluruh penumpang hanya mencoba berbaris di depan kaunter maskapai yang entah kemana tujuannya. Memang ada kaunter yang melayani semua jurusan, namun tidak jarang pula yang hanya melayani destinasi tertentu. Ada pula yang hanya melayani penumpang tanpa bagasi. Jadi yang sudah terlanjur membawa bagasi dan mengantri lama terpaksa harus memulai dari ujung antrian yang tidak jarang membuatnya tertinggal pesawat. Hal ini diperparah lagi dengan sempitnya ruang antrian untuk rute yang memang gemuk penumpangnya. Hal ini semua disebabkan karena komunikasi ruang check-in yang tidak mengindahkan etika dan eskalasi pelayanan prima. Seandainya monitor dan papan pengumuman jelas, sebagaimana yang terlihat di bandara internasional lainnya, Changi Airport misalnya, tentu tidak ada penumpang yang tergopoh-gopoh menghabiskan waktu dan energi berlari kocar-kacir kesana-kemari hanya untuk mendapatkan haknya sebagai penumpang. Maskapai juga harus bertanggung jawab menginformasikan ini kepada calon penumpangnya via manajemen bandara. Tidak sulit sebenarnya untuk menghindari hal ini. Dalam tiket bisa dicantumkan terminal mana dan kaunter apa yang harus dimasuki calon penumpang. Selama ini hanya ada informasi tentang waktu. Calon penumpang harus sudah berada di bandara satu jam sebelum jadwal keberangkatan.



Bagian terakhir dari perjuangan calon penumpang ada di ruang tunggu. Inilah yang terkadang terjadi. Dapat dibayangkan betapa ‘memalukan’ dan ‘menjengkelkan’ ketika penumpang yang sudah berada di ruang tunggu di depan gate tertentu sesuai yang tercantum di boarding pass, harus berlari tergopoh-gopoh ke gate lain karena adanya perubahan gate. Manajemen komunikasi macam apa ini? Kok bisa ya soal dimana pesawat parkir tidak diketahui oleh manajemen bandara? Bayangkan betapa tidak profesional dan amatirnya pelayanan komunikasi bandara macam ini. Seandainya, setiap penumpang dihargai, apalagi mereka yang berada dalam bantuan alat (kursi roda, dll.), tentu pada saat boarding pass dicetak sudah dapat dipastikan dimana mereka harus menunggu. Kasihan ya penumpang. Yang lebih lucu lagi, terkadang, tidak tercantum gate apa-apa di bording pass! Lalu, kemana calon penumpang itu harus menunggu? Padahal jika ketinggalan pesawat, maskapai tidak mau tahu. Inilah contoh sempurna praktik win-lose solution. Penumpang selalu di pihak yang kalah.