a a a a a a a
Logo
Other Information Banner Header
Tiket Online

Komunikasi

Telemarketing, Bukan Sekadar Menelepon by DR. Ponijan Liaw

Telemarketing, Bukan Sekadar Menelepon by DR. Ponijan Liaw

by DR. Ponijan Liaw, M.Pd.
“Selamat siang, bisa bicara dengan Pak … Po … Po…. Po..ni..jan,” itulah telepon yang sering sekali saya terima. Entah itu dari petugas call center, telemarketer, atau pun penawar jasa lainnya. Saya yakin Anda juga sering ‘terganggu’ dengan telepon semacam itu, apalagi ketika Anda dalam situasi dan kondisi dengan pekerjaan menumpuk yang menunggu untuk dituntaskan. Pertanyaanya, mengapa kita ‘tidak simpatik’ terhadap penawaran dari para penjual produk/jasa via telepon tersebut? Hal inilah yang perlu kiranya ditelusuri lebih lanjut.

Telemarketing adalah sebuah instrumen korporasi yang berusia setua umur korporasi itu sendiri. Ia sudah ada sejak perusahaan itu berdiri. Fungsi awalnya adalah sebagai pendukung, sekarang hampir utama, dalam menarik pelanggan baru dengan modal yang sangat murah. Pulsa telepon saja modalnya. Jika dilakukan sendiri, tanpa menyewa pihak ketiga.
Namun, sayangnya praktik yang seharusnya menghasilkan laba buat perusahaan terkadang tanpa disadari malah merusak citra dan kredibilitas korporasi. Apa pasal? Mari kita telisik apa yang sebenarnya terjadi disini.
Perhatikan saja percakapan pembuka pada alinea pertama di atas. Untuk menyebut nama prospect yang dituju saja, para telemarketer melakukannya dengan terbata-bata. Hal ini terjadi karena target jumlah orang prospektif yang harus dihubungi sudah ditarget sehingga mata pun lelah dibuatnya melihat beribu-ribu huruf yang ada di daftar nama prospect.
Kegagapan menyebut nama ini menjadi kesalahan pertama dan utama yang membuat penerima telepon merasa tidak simpatik. Petugas dianggap tidak menghargai nama prospect-nya, berarti juga pribadinya. Bukankah nama adalah musik paling indah buat pemiliknya? Hal semacam inilah yang menyebabkan rasa simpatik dan empatik terhadap pekerjaan telemarketer itu buyar.
Seharusnya setiap petugas di balik meja telemarketing sadar betul bahwa menawarkan jasa/produk kepada orang yang baru dikenalnya itu bukan sekadar mengangkat telepon dan bicara. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar praktik komunikasi telemarketing ini dapat berjalan dengan strategik dan simpatik.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar profesionalisme dan tujuan telemarketing tetap terjaga. Pertama, gunakan fixed-line telepon. Bukan menggunakan handphone. Hal ini lebih ditujukan buat manajemen korporasi. Hal ini penting seiring dengan semakin tingginya eskalasi penipuan via ponsel yang sulit dilacak kebenarannya. Dengan menggunakan telepon statis, orang yang menerima, secara psikologis, akan lebih diyakinkan bahwa itu adalah telepon dari korporasi terdaftar, bukan liar.
Jangan hanya tergiur biaya murah menelepon sesama provider, sehingga semua nomor berbagai provider untuk urusan telemarketing pun ada. Bayangkan jika Anda ditelepon beberapa kali ke dua nomor yang berbeda providernya dengan nomor penghubung yang berbeda pula. Konsumen pasti menjadi curiga, apalagi terkadang ada pertanyaan soal pribadi semisal nama ibu kandung, alamat rumah, dan sejenisnya. Biasanya ini terjadi pada penawaran kartu kredit.
Ada apa ini? Mengapa orang di seberang sana sedemikian lancangnya menanyakan hal itu dengan menggunakan ponsel yang tidak dikenal? Hal ini akan merusak citra korporasi jika ternyata penipuan terjadi disini.

Kedua, pahami tipologi konsumen. Hal ini juga harus dipelajari. Orang bermarga, misalnya Batak dan Tionghoa, tentu pendekatannya berbeda dengan orang Jawa atau Sunda atau suku-suku lainnya. Harus ada training soal ini. Pemahaman soal itu terkadang bisa membantu untuk mendeteksi latar belakang orang yang akan diteleponnya. Karena ada suku tertentu yang berkomunikasi dengan konteks tinggi (Jawa, Sunda & Tionghoa, misalnya). Sementara ada juga yang berkomunikasi dengan konteks rendah (Batak, Makassar, Betawi, dan sebagainya.)
Pemahaman ini akan membantu pengaturan dan gaya berkomunikasi dengan mereka. Singkatnya, tidak mungkin hanya menggunakan satu cara kaku dan baku untuk semua orang. Karena pada dasarnya, setiap orang itu berbeda.

Ketiga, atur teknik komunikasi verbal, karena disini tidak ada unsur non-verbal, harus dipahami dengan baik. Dalam verbal communication tercakup beberapa hal harusnya sudah dikristalisasikan dan diinternalisasikan dalam diri. Jadi, built-in sifatnya, yaitu: pitch, intonation, courtesy, tone, understanding, rate dan enunciation.
Ketinggian suara harus diatur sedemikian rupa sehingga orang yang mendengar di ujung telepon merasa nyaman dan terhormat (pitch). Lalu, gunakan intonasi yang berfluktuasi sesuai dengan kebutuhan kalimat (intonation). Kemudian, sapalah prospect dengan panggilan standar penuh hormat (courtesy). Irama kalimat merupakan hal berikutnya yang harus diperhatikan ketika berkomunikasi dengan calon pelanggan. Letakkan prospect pada tekanan suara yang membuatnya bahagia. Memujinya dengan tekanan suara yang pas juga akan memancing rasa simpati sang calon pembeli (tone).
Selanjutnya, pemahaman terhadap apa dan siapa mereka juga sangat penting (understanding). Ini berkaitan dengan tips kedua di atas (tipologi konsumen). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bicaralah dengan kecepatan teratur dan terukur. Tidak melebihi 120 kata permenit. Karena, konon otak manusia sulit memroses kata-kata yang melebihi angka tersebut. Artinya, berbicaralah dengan kecepatan yang moderat.
Terakhir, bicaralah dengan lafal yang jelas (enunciation). Idealnya, setiap huruf yang diucapkan dapat didengar dengan jelas dan tepat seperti yang dimaksudkan. Jika hal itu terjadi, rasa simpati akan dapat dituai dari prospect yang tengah dihubungi.

Minimal dengan tiga tips di atas, yang bisa dikembangkan kemudian, telemarketing akan lebih terasa beretika, berdaya guna dan menghasilkan laba sebagaimana yang diharapkan korporasi. Semoga!