Dalam berbagai training yang saya selenggarakan banyak muncul pertanyaan dari peserta tentang bagaimana sebaiknya memberikan instruksi kerja yang efektif dan dijalankan oleh staf atau bawahan. Seringkali mereka merasa bahwa apa yang mereka instruksikan kepada bawahannya tidak berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Padahal sebagai pimpinan mereka memiliki otoritas untuk “memerintahkan” bawahannya melakukan apa yang ditugaskan. Dalam beberapa kasus malah kerap dijumpai tugas yang diberikan itu malah tidak dijalankan sama sekali, dan para pimpinan hanya menerima berbagai alasan atau kambing hitam.
Ini pertanyaan klasik yang sering saya jumpai. Pertanyaannya adalah mungkin bukan perintahnya yang tidak jelas, tapi cara menyampaikan perintah itu yang tidak pas. Saya ingin berbagi pengalaman soal “bahasa perintah” ini kepada pembaca sekalian.
Perintah atau instruksi dari atasan kepada bawahan adalah sebuah hal yang wajar dalam organisasi perusahaan. Bahkan perintah atau instruksi kerja inilah yang membuat roda perusahaan bisa berjalan dan bergerak sesuai dengan tujuan perusahaan itu. Sebagai pimpinan perusahaan anda pasti memiliki target tertentu untuk mengembangkan perusahaan anda. Cara yang anda lakukan adalah dengan mendistribusikan tugas kepada staf dengan tepat dan efektif. Sebelum anda mendistribusikan tugas, anda juga harus menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat pula. Ini yang disebut sebagai “the right man on the right place.” Sebesar apapun usaha anda untuk mendorong staf anda mencapai target perusahaan tapi bila tidak didukung dengan orang yang memiliki kapasitas tepat, tentu hasilnya tidak akan pernah maksimal. Anda sendiri lah yang akan lelah mengawasi orang itu. Ibarat seorang ahli tambang ditempatkan sebagai customer service. Walau orang itu bisa mengerjakan pekerjaannya, namun hasil akhirnya tidak akan maksimal. Karena seseorang yang bekerja dengan hasil akhir maksimal harus didukung oleh lingkungan kerja yang positif, instruksi kerja yang jelas, reward yang baik serta passion dalam bekerja. Ketika passion mereka maksimal, maka mereka tidak akan merasa seperti sedang bekerja. Ini ibarat menjalankan hobby dengan bonus uang!
Langkah berikutnya adalah menciptakan bahasa perintah atau instruksi yang jelas dan bersahabat. Saya bersyukur pernah diberi kesempatan memimpin di instansi plat merah yang kulturnya sangat berbeda dengan di perusahaan swasta. Saat saya harus mengendalikan operasional dengan 250 orang staf yang rata-rata usianya lebih tua (baca : senior) dari saya, bahkan banyak diantara mereka yang sebelumnya menjadi mentor saya, tentu memerlukan keahlian komunikasi tersendiri. Dalam memberikan perintah kepada mereka saya tidak pernah membuat surat perintah kerja. Dalam rapat koordinasi pun “haram” hukumnya untuk saya menunjuk dan memerintahkan secara langsung kepada staf untuk menjalankan tugas. Saya banyak menggunakan “The Three Magic Words” yaitu Tolong, Maaf dan Terima kasih. Ketiga kata ajaib ini pun harus dibarengi dengan sikap tubuh yang baik serta intonasi suara yang mendukung.
Anda mungkin punya hak dan otoritas untuk memanggil staf ke ruang kerja anda dan memberikan instruksi kerja kepadanya. Namun tidak ada salahnya bila anda yang berdiri dan melangkah keluar ruang kerja anda untuk mendekati staf dan berbincang padanya. Di dunia Broadcasting yang saya jalani, ngobrol sambil ngopi-ngopi dikantin yang panas dan sesak kadang lebih efektif dibanding sebuah rapat koordinasi diruang meeting ber-AC . Waktu pendekatannya memang lebih lama, namun hasilnya bisa jadi lebih cepat terealisasi.
Saat saya memimpin sebuah stasiun televisi swasta , pengalaman menarik saya alami disini karena memimpin orang-orang yang berjiwa dinamis dan berusia sangat muda. Dunia broadcasting memang sarat dengan orang-orang seperti ini. mereka rata-rata berusia muda, dinamis dan nyentrik.
Saat ingin meminta staf menyusun jadwal perekrutan pegawai yang sering makan waktu lama dan rumit, saya sengaja menghampiri ruang kerja Manajer HRD lalu duduk disebelahnya sambil berdiskusi bagaimana sebaiknya jadwal itu disusun. Saat itu Manajer HRD dijabat oleh seorang wanita muda yang sangat enerjik namun dianggap “sangar” oleh karyawan. Sambil menikmati permen yang ada dimeja kerjanya, saya diskusikan tentang penyusunan jadwal yang baik dan efisien padanya. Satu hal yang saya tekankan disitu adalah betapa tugas ini sangat penting dan hanya orang yang memiliki kapasitas seperti dialah yang mampu mengerjakannya dengan baik. Perbincangan santai diruang kerjanya itu selalu saya sisipkan kata “Tolong” saat hendak memintanya melakukan sesuatu. Walaupun saya bisa menggunakan bahasa perintah padanya, tapi sebisa mungkin dihindari. Hasilnya? target pekerjaan yang harusnya selesai dalam waktu 1 minggu, ternyata selesai dalam waktu 3 hari. Si Manager langsung melapor dan mempresentasikan hasil kerjanya dihadapan saya dalam waktu yang tidak lama dan dengan hasil kerja yang sangat memuaskan. Tidak lupa saya sampaikan “Terima kasih” padanya yang telah menyelesaikan tugas itu dalam waktu singkat.
Hal yang simple yang bisa anda lakukan. Namun bila anda lakukan dengan tepat sasaran tentu akan mampu meningkatkan kinerja perusahaan anda sehingga mampu mencapai target yang diinginkan. Anda memang punya hak untuk memerintah staf. Namun ketika mengganti bahasa perintah itu dengan kata “tolong”, dan mengucapkan “terimakasih” saat perintah itu dijalankan, maka saya yakin perintah yang disampaikan itu memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Bukan karena si staf merasa mendapat tekanan atau ancaman dari Bos, namun lebih karena mereka merasa dianggap sebagai sebuah asset yang berharga bagi perusahaan. Komunikasi bukan sekedar memiliki sebuah peluru yang mematikan namun laksana senapan yang memiliki banyak mata peluru yang berbeda jenis dan bentuk untuk menembak sasaran yang berbeda beda pula. Anda tentu tidak akan menggunakan bazooka hanya untuk menangkap nyamuk bukan?