Dalam catatan atau coretan autobiografi yang ia dedikasikan untuk Alex Haley, Malcolm X menulis: “Anak-anak punya pelajaran yang seharusnya dipelajari oleh orang dewasa, agar tidak merasa malu bila gagal, melainkan bangun dan mencoba lagi”. Selama masa kecilnya, Malcolm —dilahirkan dengan nama Malcolm Little— adalah orang yang menolak menyaksikan kegagalan yang membuat tidak berdaya dan kadang-kadang menghancurkan. Malcolm tumbuh dewasa dalam dunia yang diwarnai dengan ketegangan rasial, dan masa kecilnya merupakan salah satu yang terus-menerus terjadi di bawah tekanan prasangka, kemiskinan, dan tragedi pribadi. Hidup di berbagai kota kecil di daerah Midwestern yang penduduknya adalah mayoritas berkulit putih, ayahnya, pengkhotbah berkeliling, sering diancam karena dukungan aktifnya pada Marcus Garvey dan gerakan nasionalis kulit hitam. Keluarga tersebut mendapat kunjungan tengah malam dari kelompok Klan dan menyaksikan rumah mereka terbakar habis ketika pemerintahan kulit putih lewat di daerah itu. Kekerasan rasial bahkan mempengaruhi pernikahan yang tidak stabil antara ayah dan ibunya, perempuan berkulit terang, hampir berkulit putih. Malcolm ingat bahwa warna kulit tidak hanya menjadi penyebab pertengkaran orangtuanya, tetapi juga perlakuan keras mereka terhadap kedelapan anak yang warna kulitnya berbeda-beda. Ketika Malcolm berusia 6 tahun, ayahnya meninggal karena luka misterius, mungkin disebabkan oleh orang kulit putih yang memukulinya lalu membuangnya di jalan. Keluarga itu selalu kesulitan dengan finansial, dan ketika perusahaan asuransi menolak pembayaran, mereka segera jatuh ke dalam kemiskinan. Tak lama kemudian ibu mereka jatuh ke dalam kemiskinan dan tenggelam dalam kesedihan dan tekanan jiwa. Ketika Malcolm berusia 12 tahun, ibunya mengalami kerusakan saraf dan tinggal di rumah sakit jiwa hampir sepanjang sisa hidupnya. Setelah itu, Malcolm dan saudara-saudaranya terpisah dan tinggal di panti asuhan. Malcolm mulai terlibat masalah di sekolah dan dimasukkan ke rumah tahanan. Di sini, ia terkejut menemukan lingkungan rumah yang paling stabil yang pernah ia alami. Ia mulai menyesuaikan diri di sekolah. Nilainya merangkak naik hingga ia mendapat nilai tertinggi di kelas. Secara mengejutkan, ia bahkan pernah dipilih menjadi ketua kelas. Tetapi tak peduli kesuksesan yang diraihnya, ia terus ditekan oleh rasisme. Sebagai satu-satunya murid berkulit hitam di sekolah, Malcolm sering diasingkan dan dihina oleh para guru dan murid. Dalam kelas sejarah Amerika, gurunya membahas sejarah Afrika-Amerika dalam satu paragraf dan lelucon rasis. Malcolm sangat sedih dengan orang kulit putih yang mengaku mengusahakan yang terbaik untuknya. Ketika guru favoritnya bertanya ingin jadi apa ia nanti, ia menjawab, “Pengacara”, hanya diminta untuk mencari keahlian yang “bermanfaat” seperti tukang kayu. Bahkan tempat berlindung yang penuh cinta, rumah tahanannya sering melontarkan ejekan rasial saat berada di dekatnya. Di akhir kelas delapan, Malcolm yang patah semangat berhenti sekolah dan pergi ke Boston untuk mengunjungi saudara tirinya. Tertarik pada pemandangan dan keriuhan kota besar, ia bertekad untuk menetap dan bekerja sebagai tukang semir sepatu di Reselan Ballroom, di mana ia melibatkan diri dengan narkoba dan perempuan penghibur. Ketika ia berusia 17 tahun ia berhenti menjadi pekerja jalanan dan pindah ke Harlem, dan langsung bekerja pada mucikari lokal serta pengedar narkoba, dan akhirnya menjadi pengedar. Ia juga menjadi pemakai regular dan akhirnya menjadi pencandu. Mencari lahan besar selanjutnya, Malcolm kembali ke Boston untuk membentuk jaringan perampok bersama seorang teman, seorang perempuan kulit putih kelas atas, dan saudara perempuannya. Tim tersebut menggunakan akses perempuan ke rumah orang kaya untuk melakukan perampokan tengah malam, tetapi Malcolm ditangkap karena mencoba melindungi harta rampokan. Malcolm dan temannya dihukum dengan hukuman maksimal 8-10 tahun.Pada usia 21 tahun, Malcolm Little menemukan dirinya berada di salah satu dari dua tempat yang tidak pernah ia inginkan antara penjara atau kuburan. Sikapnya yang memberontak masih tetap melekat meskipun berada di penjara di Charlestown , Massachussets, tempat ia mendapat julukan “Setan” karena sikapnya yang suka menyerang siapa saja. Ia meneruskan kebiasaannya di balik jeruji dengan mengonsumsi narkoba jenis apapun yang dapat ia temukan dan menenggelamkan diri dalam sikap pemberontakannya, menjatuhkan nampannya di kafetaria, melawan para penjaga, berpura-pura lupa nomor penjaranya. Ia terkenal dengan kebiasaannya terjaga semalaman dalam selnya, mengeluarkan kecaman-kecaman melawan Alkitab dan Tuhan. Namun di toko penjual pelat nomor, Malcolm bertemu dengan sesame tahanan yang dikenal dengan nama Bimbi. Menjadi pencuri kecil dalam waktu yang lama, Bimbi tidak seperti orang kulit putih atau orang kulit hitam yang pernah dijumpai Malcolm. Membaca dengan baik, tenang, dan senang belajar, ia senang membicarakan topik favoritnya pada para tahanan: sejarah dan agama. Malcolm merenung, “Hal yang membuatku terpesona padanya sebagian besar karena ia adalah orang pertama yang pernah saya lihat sangat berhati-hati… dengan kata-katanya. “Ia juga satu-satunya orang yang menurut Malcolm kelihatannya mempercayainya, mengatakan terus terang, “Kamu punya otak, jika kamu menggunakannya.” Bimbi mendorong Malcolm untuk mengikuti jejaknya dan mengmbil manfaat dari kursus surat-menyurat di penjara dan perpustakaan. Malcolm segera memulai kursus surat-menyurat dalam bahasa Inggris. Bertahun-tahun di jalanan, meninggalkan sekolah, membuatnya hampir buta huruf dan tulisannya tak terbaca. Tergerak oleh ajaran Bimbi dan derivasi kata, ia mulai membaca kamus, satu halaman sehari, mulai dari “aardvark,” dan menghafal kata-kata tersebut. Minat barunya dalam belajar mengendalikan insting memberontaknya, dan setelah satu tahun, Malcolm dipindah ke Norfolk Prison Colony, model penjara percobaan yang didesain untuk merehabilitasi para tahanan. Fasilitas tersebut mengutamakan perpustakaan sekelas universitas dan kunjungan-kunjungan para professor Harvard. Di sini, Malcolm membaca dengan serius mengenai sejarah dunia, filosofi, dan agama. Ia membaca Uncle Tom’s Cabin dan literature abolisi abad ke-19. Ia bahkan mempelajari penemuan genetic Gregor Mendel dan Charles Darwin. Malcolm selalu menyebutkan pembelajarannya di penjara dalam aktivitasnya kemudian. Ketika seorang reporter menanyakannya almamaternya, ia menjawab, “Buku.” Malcolm bergabung dengan tim debat penjara, tempat ia mengasah keahlian yang terbukti paling penting baginya: bagaimana berbicara di depan publik dan mempengaruhi orang banyak lewat pandangannya. Lebih penting lagi, ia mulai menggunakan pedoman untuk menyampaikan filosofi yang menarik pemikirannya: ajaran Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam. Mungkin hasil yang paling nyata dari perubahan Malcolm adalah hal itu membuatnya menjadi pengikut aktif dari Nation of Islam. Dikenalkan ke dalam kelompok tersebut oleh saudaranya yang telah menjadi anggota, Malcolm menemukan bahwa ajaran organisasi itu atas pendayagunan orang kulit hitam sepertinya sesuai dengan segala hal yang telah ia alami. Dan untuk seorang pria yang telah menjalani hidup dengan pemberontakan, ia merasa tergerak oleh pesan Islam mengenai kepatuhan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dalam kegelapan selnya, ia menyembah dan bersujud serta berdoa pada Allah. Dengan segera ia beketja secara aktif untuk membawa perubahan pada diri sesama tahanan. Malcolm dibebaskan lebih awal dan pergi ke Detroit, tempat ia menjadi pengikut Elijah Muhammad. Secara hukum namanya diubah menjadi “Malcolm X”, menolak nama keluarga aslinya sebagai warisan budak. Dengan cepat ia menjabat sebagai menteri organisasi tersebut dan tentunya penceramah utama. Pada saat ia dibunuh tahun 1965, ia menjadikan Nation of Islam sebagai nama yang terkenal dan menjadi bagian penting dalam memperjuangkan hak-hak sipil. Ia meningkatkan pengikut mereka dari 400 menjadi 40.000 anggota hampir dengan usahanya sendiri. Saat ini, Malcolm X dikenang sebagai lawan dari dirinya ketika ia masuk penjara. Ketika menjadi perampok kecil, ia menjadi pemimpin rasnya. Ketika menjadi orang yang dikuasai oleh sifat buruk, ia menjadi contoh moral bagi pengikutnya. Ketika menjadi seorang ateis, ia menjadi Muslim yang paling berpengaruh di negeri. Dengan sedikit ironis Malcolm merenungkan, “Saya tidak yakin ada orang yang mendapatkan lebih banyak manfaat dengan masuk penjara daripada saya.”n Disadur dari buku “30 Success Stories” karya Laura Fitzgerald